jembatan suramadu

           Berdirinya Jembatan Suramadu merupakan tonggak sejarah baru dalam pembangunan konstruksi prasarana perhubungan di Indonesia. Jembatan antarpulau sepanjang 5.438 meter yang akan diresmikan Rabu (10/6) besok itu bukan hanya yang terpanjang di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara.



            Sebagai jembatan yang menghubungkan dua pulau, sesungguhnya Suramadu (Surabaya-Madura) merupakan yang kedua setelah rangkaian jembatan Barelang (Batam Rempang Galang) yang selesai dibangun tahun 1997. Enam jembatan dengan berbagai tipe yang menghubungkan tujuh pulau kecil di Propinsi Kepulauan Riau ini, merupakan landmark keberhasilan dan kemandirian anak bangsa dalam membangun jembatan antar pulau.

            Sebelum Suramadu dibangun, sempat timbul keragu-raguan, apakah mungkin membangun jembatan di daerah patahan dan gempa? Bagaimana dengan tiupan angin di laut Selat Madura yang terkenal kencang, apakah tidak akan memengaruhi konstruksi jembatan?

             Penelitian pun akhirnya dilakukan secara mendalam selama tahun 2003-2004. Penelitian yang lebih bersifat technical study dilakukan terhadap 12 item yang kebanyakan berupa parameter tanah.

             Dari sisi seismic hazard analysis, misalnya, diperoleh kesimpulan, di sekitar lokasi jembatan tidak ditemukan suatu patahan aktif. Berdasarkan katalog gempa juga tidak ditemukan gempa dengan magnitude di atas 4 skala Richter sehingga kondisi di sekitar lokasi jembatan cukup stabil.

              Kajian mendalam juga dilakukan terhadap kontur dasar laut, arus air laut, serta pengaruh pasang terhadap jembatan. Ternyata semuanya sangat memungkinkan untuk dibangun jembatan yang menghubungkan dua pulau. Adapun untuk angin, berdasarkan kajian ternyata angin yang melintang kecepatannya sekitar 3,6 kilometer per jam sampai maksimal 65 kilometer per jam.

Tahan gempa

Jembatan Suramadu yang pemancangan tiang pertamanya dilakukan pada 20 Agustus 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri saat ini bisa tahan terhadap guncangan gempa sampai 7 skala Richter. Jembatan ini pun dirancang dengan sistem antikorosi pada fondasi tiang baja.

Karena menghubungkan dua pulau, teknologi pembangunan Jembatan Suramadu didesain agar memungkinkan kapal-kapal dapat melintas di bawah jembatan. Itulah sebabnya, di bagian bentang tengah Suramadu disediakan ruang selebar 400 meter secara horizontal dengan tinggi sekitar 35 meter.

Untuk menciptakan ruang gerak yang lebih leluasa bagi kapal- kapal, di bagian bentang tengah Suramadu dibangun dua tower (pylon) setinggi masing-masing 140 meter dari atas air. Kedua tower ini ditopang sebanyak 144 buah kabel penopang (stayed cable) serta ditanam dengan fondasi sedalam 100 meter hingga 105 meter.

"Total panjang tower sekitar 240 meter. Ini sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya," kata Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak.

Kuat 100 tahun

Secara keseluruhan, pembangunan Suramadu menghabiskan sekitar 650.000 ton beton dan lebih kurang 50.000 ton besi baja. Tak heran, dinas pekerjaan umum mengklaim Suramadu sebagai megaproyek yang menghabiskan dana total mencapai Rp 4,5 triliun. Jembatan ini dirancang kuat bertahan hingga 100 tahun atau hampir menyamai standar Inggris yang mencapai 120 tahun.

Karena berada di tengah lautan, Suramadu berpotensi terkendala faktor angin besar yang potensial terjadi di tengah lautan. Untuk memastikan keamanan kendaraan yang melintas di atas Suramadu, Departemen Pekerjaan Umum akan membangun pusat monitoring kondisi cuaca, khususnya angin.

"Jika kecepatan angin sudah mencapai 11 meter per detik atau sekitar 40 kilometer per jam, jembatan harus ditutup untuk kendaraan roda dua demi keselamatan pengendara," ujar Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Jika kecepatan angin bertambah hingga 18 meter per detik atau sekitar 65 kilometer per jam, jalur untuk kendaraan roda empat akan ditutup. Langkah ini semata-mata untuk keselamatan dan kenyamanan pengendara. Adapun konstruksi jembatan akan tetap aman karena Jembatan Suramadu dirancang tetap kokoh meski ditempa angin berkecepatan lebih dari 200 kilometer per jam.

Bukan cuma kuat dari terpaan angin, Jembatan Suramadu juga didesain mampu menopang kendaraan sesuai standar as atau axle di daratan. Dengan demikian, Suramadu diperkirakan mampu menahan beban dengan berat satu as kendaraan sekitar 10 ton.

Cukup lima menit

Setelah diresmikan besok, diperkirakan Jembatan Suramadu akan dilintasi 8.000-9.000 sepeda motor per hari serta sekitar 4.000 kendaraan roda empat per hari.

Jumlah ini berdasarkan perhitungan sebelumnya, kendaraan yang melintasi Ujung-Kamal dengan menggunakan kapal feri sekitar 2,4 juta sepeda motor per tahun (62 persen) serta 1,5 juta kendaraan roda empat per tahun (38 persen).

Selain bakal padat, jembatan ini pun pasti akan sangat membantu masyarakat karena waktu tempuh Surabaya-Madura bisa dipersingkat. Jika sebelumnya menggunakan feri dibutuhkan waktu sekitar 30 menit, sekarang dengan menggunakan Suramadu cukup ditempuh lima menit.

Sempat tersendat

Pembangunan Suramadu dalam perjalanannya sempat menemui kendala dana. Terhambatnya pencairan dana menyebabkan pembangunan approach bridge atau jembatan pendekat sisi Surabaya sepanjang 672 meter tersendat September 2008. Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya menalangi dana pembangunan melalui Bank Jatim sebesar Rp 50 miliar sebelum dana pinjaman dari Bank Exim of China sebesar 68,9 juta dollar AS cair.

Studi pembangunan yang kurang sempurna menyebabkan perkiraan biaya pembangunan juga meleset, seperti tiang pancang jembatan yang awalnya hanya didesain setinggi 45 meter akhirnya bertambah menjadi sekitar 90 meter. Karena itu, dari estimasi awal nilai kontrak sebesar Rp 4,2 triliun, biaya pembangunan akhirnya membengkak hingga Rp 4,5 triliun.

Pembiayaan pembangunan Suramadu 55 persen ditanggung pemerintah, sedangkan 45 persen sisanya pinjaman dari China. Dari total biaya pembangunan Suramadu sebesar Rp 4,5 triliun, sekitar Rp 2,1 triliun di antaranya harus berutang kepada China.

Mahalnya pemikiran dan biaya pembangunan Suramadu diharapkan mampu menumbuhkan geliat ekonomi Tanah Air, terutama Jawa Timur.

Setelah Suramadu, Lantas Apa Lagi?

Haryo Damardono
KOMPAS.com - ”Tenaga ahli dan pekerja konstruksi Indonesia sudah mampu membangun jembatan bentang panjang. Setelah membangun Jembatan Suramadu (5.438 meter), kami siap membangun jembatan di mana pun,” kata Danis H Sumadilaga, Direktur Bina Teknik Ditjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum.

Hari Kamis (28/5), saat menapaki bentang utama Jembatan Suramadu, Kompas pun menjumpai pekerja asal China, sebagai konsekuensi pinjaman.
Kehadiran mereka positif. China lebih pengalaman membangun jembatan setelah giat membangun infrastruktur. Alhasil, kini teknologi mereka telah direbut. Meski, kata Danis, teknologi itu harus dipelajari lagi, lalu diterapkan.
Jembatan cable stay bridge Suramadu memang tidak hanya dipelajari kontraktor Indonesia, tetapi pegawai PU, akademisi, dan mahasiswa.
Tuntasnya Suramadu ada di depan mata. Pekan ini, tinggal mengaspal approach bridge sisi Surabaya. Hampir pasti, jembatan diresmikan hari Rabu (10/6) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, pembangunan jembatan lain menanti di negeri kepulauan ini. Jembatan tak cuma menghubungkan pulau, tapi ”melangkahi” sungai-sungai, selebar ribuan meter.

Kini, PU mendesain Jembatan ”panjang” Tayan (1.200 meter) di Kalimantan Barat. Tujuannya untuk menumbuhkan ekonomi selatan Kalbar. Bila jembatan selesai, perjalanan melintasi Trans-Kalimantan penghubung Samarinda-Balikpapan-Banjarmasin-Palangkaraya-Pontianak tak terhambat Sungai Kapuas.
”Kami juga berniat membangun Jembatan Serangan-Tanjung Benoa. Sedang dihitung ketinggian idealnya sebab kapal melintas di bawah jembatan dan pesawat terbang rendah di perairan Tanjung Benoa sebelum mendarat di Ngurah Rai,” kata Danis.
Jadi kini, bangsa ini sanggup membangun jembatan panjang tanpa bantuan negara lain, dengan catatan ada dana. Tak jadi soal bila mengimpor material. Sebab belajar dari Suramadu, adanya 30 persen bahan produksi China, seperti stayed cable, lebih disebabkan tak tercapainya skala ekonomis bila dibuat di Indonesia.

Optimisme tinggi membangun jembatan panjang telanjur merasuki banyak pemda. Ada rencana Jembatan Teluk Kendari (700 meter), di Sulawesi Tenggara; Jembatan Penajam (4.000 meter) di Teluk Balikpapan; dan Jembatan Nunukan (4.200 meter) di Kalimantan Timur. Belum lagi, megaproyek Jembatan Selat Sunda (31 kilometer), berbiaya Rp 92 triliun. Jembatan itu akan menghubungkan Jawa dan Sumatera.

Perlu insentif
Setelah Suramadu tuntas, kata anggota DPR, Nusyirwan Soejono, Madura harus mampu menumbuhkan ekonomi setempat. ”Bila dalam beberapa periode pertumbuhan di sisi Surabaya lebih besar dibanding Madura, artinya jembatan itu gagal,” kata dia.
Nusyirwan menyayangkan Jembatan Barelang (Pulau Batam-Pulau Rempang-Pulau Galang). ”Maaf, setelah jembatan jadi, belum ada lonjakan ekonomi di sana,” ujarnya.

Pengembangan kawasan industri Madura (600 hektar) serta kawasan kaki-kaki jembatan seluas masing-masing 600 ha, telah ditargetkan pemerintah. Sebuah kawasan tidak akan berkembang kalau tidak ada perangsangnya.
Harus ada insentif, kemudahan perizinan, dan kepastian usaha. Tanpa itu, jangan banyak berharap ekonomi Madura melejit walaupun ada Jembatan Suramadu.
Jangan sampai jembatan itu, sekadar jadi ikonik di timur Jawa. Semoga kehadiran jembatan Suramadu bisa meningkatkan kesejahteraan warga Madura.



Suramadu: Jembatan Versus Jasa Feri

Haryo Damardono
KOMPAS.com - ”F**k Bridges, We Want Ferries!”, judul artikel di situs majalah Renegade itu sangat ”menyengat”, di tengah euforia peresmian Jembatan Suramadu, Rabu (10/6), oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sudah tepatkah keputusan membangun jembatan, khususnya yang berbentang panjang?
Artikel itu berisi ”pertarungan” jembatan dan feri di Amerika. Dikecam, kebodohan pengendara yang memacetkan jembatan. Kota yang ”terbagi” oleh sungai lebar memang sering hanya ada satu hingga dua jembatan sehingga arus kendaraan ”menyempit” di jembatan.
Alhasil, di banyak kota dibangun lagi jembatan. Tak membangun alternatif penyeberangan atau zona lain untuk menekan pergerakan orang.
Contohnya di Pontianak, tahun 2007 diresmikan Jembatan Kapuas II untuk ”melengangkan” Jembatan Kapuas I. Palembang, walau punya Jembatan Ampera dan Musi II, merencanakan Jembatan Musi III.
Sementara itu, Pemkot Samarinda melobi Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun jembatan ketiga, Mahkota II.
Sentimentil
Tepatkah pembangunan jembatan itu? Teringat film Intersection (1994). Saat Vincent Eastman (Richard Gere) dan Olivia (Lolita D) naik feri di Vancouver, Kanada, ke tempat kerja. Ada kesan sentimentil di sana.
Kesan itu diangkat pemuja feri di internet, ”pagi selalu indah di feri. Warga ngobrol saat di feri. Sore hari, terlihat matahari terbenam. Sangat indah”.
Mustahil komuter menikmati sunset saat mengemudi di jembatan. Dan di atas feri, tulis komuter lain, ”sering ada live music. Rileks seusai kerja”.
Bagi pengayuh sepeda, feri juga bersahabat. Sepeda diangkut feri saat tiada jembatan. Atau, saat jembatan hanya boleh dilewati kendaraan bermotor.
”Kemacetan? Apa itu?” celoteh pencinta feri. Di mana pun, mereka cerdik dan lincah ”melompat” antartransportasi massal. Wajah kota diperamah dengan mengurangi emisi dan mempererat interaksi warga.
Keberpihakan
Tidak ada maksud menghakimi Jembatan Suramadu. Tapi membangun jembatan serupa? Nanti dulu....
Apalagi, sistem perferian sedang dibenahi. Andai PT Indonesia Ferry (ASDP) tuntas mereformasi pelabuhan, waktu berlayar dan sandar makin singkat. Maka sebenarnya tinggal sinergi berbagai moda. Katakanlah, di Pontianak, bangunlah bus rapid transport (BRT) di Pontianak Utara, disambung feri di Sungai Kapuas, disambung BRT di Pontianak Selatan. Transportasi massal akan menyusutkan pergerakan mobil dan motor di Jembatan Kapuas dan ”melengangkan” jalan di Pontianak.
Mana lebih baik, Rp 1,2 triliun untuk bangun Jembatan Musi III di Palembang atau transportasi massal? Apalagi, pertambahan jalan dan jembatan selalu kalah dengan pertumbuhan kendaraan.
Pemikiran moderat diajukan ahli transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, ”Suramadu boleh ada, tapi baiknya juga jadi jembatan rel.”
Andai ada jalur kereta di Suramadu, tinggal ”ditarik” lagi rel dari Bangkalan ke Sumenep (176 km). Tak perlu pembebasan lahan rel sebab milik negara sejak dibangun Madoera Stoomtram Maatschappij, November 1896.
Dari ujung Jembatan Suramadu, nantinya KA disambung jaringan KA Daerah Operasi VIII-Surabaya. Tinggal naik kereta api ke Lamongan, Malang, Blitar, Banyuwangi, atau bahkan Jakarta. Ciamik tenan.
Di masa depan, perlu dikaji ulang tiap pembangunan jembatan. Prioritaskan wilayah yang tak ada penyeberangan. Optimalkan feri bila mungkin.
Bila terpaksa, boleh bangun jembatan, tapi dengan memfasilitasi transportasi massal sehingga masyarakat tak manja menggunakan kendaraan pribadi yang boros dan memacetkan.
Ada bisikan, ”Bali dan Lombok, dari dulu tiada jembatan, kok lebih maju?” Mungkin, bukan jembatan yang dibutuhkan Madura untuk sejahtera.

http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...rsus.Jasa.Feri
di-techno.blogspot.com -->